KEKERASAN DALAM LINGKUNGAN PENDIDIKAN DITINJAU DARI USIA ANAK BERDASARKAN SOSIO EMOSIONAL DAN MORAL
KEKERASAN DALAM LINGKUNGAN PENDIDIKAN
DITINJAU DARI USIA ANAK
BERDASARKAN SOSIO EMOSIONAL DAN MORAL
Permasalahan dunia pendidikan di negara kita
memang seakan-akan tidak ada ujung akhirnya. Banyaknya kasus kekerasan dalam
dunia pendidikan, baik yang melibatkan guru dengan siswa, siswa dengan siswa,
maupun guru dengan wali siswa, terus menerus menghiasi pemberitaan baik di
media cetak maupun media elektronik. Selesai satu kasus dengan harapan itu
merupakan kasus terakhir yang terjadi di dunia pendidikan kita, dalam jangka
waktu tidak seberapa lama, disusul lagi dengan kasus-kasus lainnya yang semakin
menunjukkan belum
berhasilya pelaksanaan pendidikan di negara kita walaupun perencanaan
pendidikan yang sangat baik telah dilakukan dengan mengadopsi banyak
teori-teori hebat dari ahli-ahli yang telah teruji yang tertuang dalam
kurikulum pendidikan terasa masih belum menunjukkan hasil yang maksimal dan
sesuai dengan yang diharapkan.
Dalam hal ini, anak yang menjadi pelaku
kekerasan sejatinya adalah juga merupakan korban, yakni korban dari lingkungan
yang tidak ramah sehingga menjadikan anak menjadi berperilaku tidak sesuai
dengan usianya sebagai anak, selain itu anak merupaka produk dari interaksi
sosial dan budaya dari lingkungan dimana dia tinggal.
Adanya kasus-kasus tersebut memang benar
menunjukkan bahwa pendidikan terutama pada proses pelaksanaan pembelajaran dan
hasil produk pendidikan yang telah terlaksana di negara kita bisa disebut
kurang berhasil. Harus kita akui hal-hal terkait kasus tersebut terjadi, baik langsung ataupun tidak langsung
merupakan kesalahan kita semua. Sekolah, dinas terkait, kementerian terkait
bahkan negara menurut saya turut bertanggung jawab atas terjadinya kasus-kasus tersebut.
Selanjutnya, mari kita bersama-sama untuk
mengusahakan supaya kasus-kasus dalam dunia pendidikan tersebut di atas tidak terulang kembali. Mari kita perbanyak dan lebih mengintensifkan
penanaman moral kepada anak didik kita, bagi pihak sekolah dukung terus program
pengembangan karakter supaya menghasilkan hasil yang terbaik, bagi dinas
terkait, kementeraian terkait dan pemerintah dukung pelaksanaan penanaman
karakter supaya perilaku siswa dan juga semua warga negara yang sejatinya
merupakan produk dari pendidikan dan lingkungan memiliki karakter yang baik dan
dapat memajukan negara sesuai dengan tujuan negara. Yang tidak kalah pentingnya
peranan partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan untuk mendukung dan
memonitoring pelaksanaan program penanaman karakter karena kepada
masayarakatlah nantinya hasil produk pendidikan dan lingkungan akan memulai
berkiprah dan menunjukkan hasil baik yang merupakan produk dari hasil kerja
kita bersama sebagai warga negara.
Perasaan atau efek yang terjadi ketika
seseorang berada dalam suatu kondisi atau sedang terlibat dalam interaksi
sosial (lingkungan) yang penting bagi dirinya adalah merupakan definisi dari
sosio emosional. Kemampuan sosio emosional anak seusia SD sampai SMP lebih
terpengaruhi dari proses peniruan kepada hal-hal yang ada di lingkungan
sekitarnya, jika lingkungan mendukung atau cenderung baik, maka kemampuan sosio
emosional anak akan lebih cenderung mengarah ke arah positif, begitu pula
sebaliknya.
Berbeda ketika anak usia SMA, pada masa ini
disebut masa transisi, peningkatan drastis terkait kemampuan sosio emosional
namun masih ada sedikit pengaruh masa kanak-kanak. Pada masa ini sangat penting
adanya pengarahan dari orang-orang di sekeliling anak untuk mencapai perkembangan
kedewasaan yang baik, positif dan sempurna. Jika dikaitkan dengan kasus-kasus
kekerasan tersebut diatas, hal ini merupakan pengaruh dari perasaan berdasarkan
tahapan perkembangan sosio emosional anak.
Tahapan-tahapan moral pada anak menurut
Piaget dibedakan menjadi heteromous
morality dan autonomous
morality, keterhubungan antara kasus-kasus
kekerasan tersebut di atas dengan tahapan moral anak akan saya tinjau seberapa
besar pengaruh perkembangan moral anak terhadap tingkatan usia anak yang
berimplikasi pada perilaku-perilaku anak yang menjurus kepada kekerasan
terhadap teman sebayanya.
Perkembangan sosio emosional anak pada tahapan usia SD sangat
dipengaruhi oleh lingkungan dimana anak tersebut berinteraksi dalam
kehidupannya. Lingkungan yang baik cenderung memberikan dampak yang baik pula
pada perkembangan sosio emosional anak, begitu juga sebaliknya lingkungan yang
kurang baik akan sangat berdampak pada perkembangan sosio emosional anak.
Pengaruh lingkungan yang baik akan melahirkan emosi anak yang stabil dan
lebih terkontrol, dalam hal ini tercermin pada tingkah keseharian anak yang
lebih sering menunjukkan wajah yang ceria, mampu bergaul dengan teman secara
baik, bergairah dan konsentrasi dalam belajar, serta memiliki refleks (penghargaan)
kepada diri sendiri dan kepada orang lain.
Sebaliknya pengaruh lingkungan yang kurang baik akan menjadikan emosi
anak menjadi kurang stabil dan kurang terkontrol (mudah marah, mudah mengeluh,
kecewa, dan pesimis dalam menghadapi suatu masalah. Anak dengan pengaruh
lingkungan kurang baik cenderung menunjukkan wajah yang murung, mudah
tersinggung, membatasi diri dalam pergaulan, mudah
tersulut amarahnya, dan sedikit penghargaan pada diri sendiri dan orang lain.
Pengaruh lingkungan yang kurang baik pada perkembangan sosio emosional
anak akan terbawa ketika anak berada pada tahap usia SMP. Pengaruh lingkungan
yang kurang baik tersebut akan berdampak lebih serius/intensif pada usia ini,
ditambah lagi dengan meningkatnya hormon pada masa pubertas yang lebih dikanal
dengan masa badai emosional pada anak. Pada masa ini, masa bahagia sebagai
anak-anak terkurangi maksimal sampai 50 persen. Jika dalam tahap ini anak masih
berada dalam lingkungan yang kurang baik, maka hal ini akan sangat mempengaruhi
keadaan sosio emosional anak yang akan berdampak pada kesulitan akademis,
kenakalan remaja, dan hal-hal yang membahayakan lainnya jika anak tidak
dibimbing untuk mampu mengontrol emosinya yang saat itu berada pada tingkat
emosi yang tinggi.
Tahapan usia SMA, keadaan sosio emosional anak berada pada posisi yang
mengarah kepada proses untuk mencapai tahap kedewasaannya. Pada tahapan ini,
gejala sosio emosional yang sering terlihat adalah munculnya perasaan sayang,
marah, takut, bangga, malu, benci, harapan, putus asa, dan hal-hal lain yang
mengarah pada kedewasaan. Pada tahap ini pula akan banyak terjadi
perubahan-perubahan yang sifatnya umum (universal) diantaranya meningginya
emosi seiring dengan perubahan fisik dan psikis, perubahan drastis pada
bagian-bagian tubuh, mulai membentuk kelompok-kelompok yang kadangkala menjadi
masalah di masyarakat.
Berdasarkan penjelasan tahapan-tahapan tersebut di atas, maka sudah
jelaslah bagi kita semua, bahwa kasus-kasus yang terjadi pada lingkungan
pendidikan adalah bersumber kepada penanganan atau perlakuan yang tidak
mendukung dari komponen-komponen pembentuk lingkungan yang dalam hal ini
memberikan pengaruh yang kurang baik pada perkembangan sosio emosional anak
sehingga perkembangan sosio emosional anak tidak terarah pada hal-hal yang
bersifat baik dan positif dan dampak akhirnya terjadilah kasus-kasus pendidikan yang
sering kita dengar dan lihat.
a. Tinjauan kasus pendidikan berdasarkan moral
Tahapan perkembangan moral pada
perkembangan anak sesuai dengan yang disebutkan oleh Piaget dibagi menjadi dua
(2) tahapan yakni tahapan heteromous
morality dan tahapan autonomous
morality. Pada kedua tahapan perkembangan moral tersebut memiliki ciri-ciri
dan perlakuan yang berbeda dari orang-orang dewasa di sekeliling anak dalam
rangka menumbuhkan moral yang baik dan sesuai dengan etika moral yang diyakini
benar dalam kehidupan bermasyarakat.
Tahap perkembangan heteronomous morality adalah tahapan perkembangan pandangan moral
dari sudut pandang anak-anak dimana aturan dipandang sebagai sesuatu yang tetap
dan tidak dapat berubah. Ini adalah tingkatan pertama dari perkembangan moral
yang mana anak-anak memandang peraturan dari pembimbing (orang dewasa) yang
dihormatinya adalah sesuatu yang harus dilaksanakan dan tidak dapat dibantah.
Tahapan ini terjadi pada usia anak 4 – 7 tahun. Pada anak-anak usia SD akan
menganggap aturan yang diterapkan oleh gurunya adalah hal yang benar, tidak
dapat ditawar, tidak boleh dibantah, dan harus dilaksanakan.
Tahapan autonomous morality adalah tahap kedua perkembangan (dimulai
sekitar usia 10 tahun atau lebih), dimana anak mulai menyadari bahwa aturan dan
hukum adalah buatan manusia dan bahwa dalam menilai suatu perbuatan, niat
pelaku dan konsekuensinya perlu dipikirkan. Pada anak usia SMP sampai dengan
usia SMA, beberapa aturan tidak serta merta diterima dan dilaksanakan, namun
mulai dipikirkan sebab, alasan, dan dampak dari aturan tersebut dibuat.
Kasus-kasus
dalam
lingkungan pendidikan, menurut saya lebih kepada dampak dari perkembangan moral
anak yang melampaui batasan usia pada tahap heteronomous. Anak seusia SD
seharusnya belum waktunya untuk bertindak yang mengarah kepada kekerasan,
kalaupun ada yang mengarah kepada kekerasan, hal ini sangat mungkin dipengaruhi
oleh lingkungan yang memaksa anak untuk dewasa sebelum waktunya, bisa saja
terjadi karena adanya pengaruh sinetron dan tontonan yang seharusnya belum
waktunya diperbolehkan anak untuk melihatnya. Dalam hal ini pengaruh sinetron
yang kurang berkualitas dan menampilkan banyak adegan yang seharusnya tidak ditonton
oleh anak usia sekolah dasar memberikan efek atau dampak yang sangat buruk pada
tahapan perkembangan moral anak.
Kekerasan dalam lingkungan pendidikan
yang dilakukan oleh siswa pada usia SMP dan SMA menurut saya lebih dipengaruhi oleh
lingkungan yang tidak mengakomodir kebutuhan siswa pada tahapan autonomous
morality yang telah kita tahu bahwa pada tahapan ini anak mulai menyadari bahwa
aturan dan hukum adalah buatan manusia dan bahwa dalam menilai suatu perbuatan,
niat pelaku dan konsekuensinya perlu dipikirkan. Pada anak usia SMP sampai
dengan usia SMA, beberapa aturan tidak serta merta diterima dan dilaksanakan,
namun mulai dipikirkan sebab, alasan, dan dampak dari aturan tersebut dibuat.
Dengan demikian seharusnya orang tua dan guru harus memberikan alasan-alasan
dengan bukti-bukti nyata (kongkret) dan logis atas suatu hal yang boleh
dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh siswa (anak) sehingga kasus-kasus
kekerasan dalam linkungan pendidikan akan dapat kita hilangkan dan hindari
bahkan bisa kita tiadakan.
b.
Antisipasi berupa tindakan sebagai guru dalam
menyikapi kasus pendidikan
Sesuai dengan penjelasan yang telah
dikemukakan di atas maka beberapa hal yang dapat kita lakukan sebagai bentuk
antisipasi atas kasus-kasus dalam dunia pendidikan yang kadangkala terjadi supaya tidak terulang lagi
diantaranya adalah :
1)
Memperbanyak dan meningkatkan pengetahuan dan pemahaman terhadap
perkembangan anak (siswa) dan perlakuan terbaik sesuai dengan tahapan-tahapan
tersebut.
2)
Memberikan tauladan / contoh terbaik kepada siswa (anak) dalam kehidupan
sehari-hari anak, terutama pada tahapan perkembangan anak (siswa SD) dan pada
tahap perkembangan heteronomous morality.
3)
Membimbing dan mengarahkan siswa (anak) sesuai dengan tahapan-tahapan
perkembangannya.
4)
Memberikan alasan-alasan logis yang dapat diterima anak (siswa) terhadap
hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan sehingga tidak ada penolakan dalam
bentuk pemberontakan atas aturan yang diberlakukan kepada anak (siswa).
5)
Sebagai bagian dari komponen penyusun lingkungan, sebaiknya kita
usahakan untuk memberikan kontribusi (pengaruh) yang positif dalam proses
perkembangan anak baik dalam tahapan sosio emosional maupun pada tahapan moral
anak (siswa).
6)
Menjalin hubungan dan komunikasi aktif, efekti dan efisien baik
horisontal (dengan orang tua siswa) maupun vertikal (pengambil kebijakan
pendidikan) supaya dapat bersama-sama menjaga dan membawa generasi bangsa
menuju hal yang lebih baik.
7)
Mengoptimalkan partisipasi masyarakat dalam membangun sosio emosional
dan moral siswa (anak).
Dengan beberapa langkah-langkah antisipasi
tersebut, maka harapan saya dan juga harapan kita semua, kasus-kasus yang ada
dalam lingkungan pendidikan pada khsusunya dan di masyarakat pada umumnya semakin berkurang dan
tidak akan terulang kembali sehingga sebagai
bangsa kita akan mampu dengan segera menggapai tujuan pendidikan dan tujuan
negara sesuai dengan apa yang dicita-citakan dalam Pancasila dan Undang-Undang.
Belum ada Komentar untuk "KEKERASAN DALAM LINGKUNGAN PENDIDIKAN DITINJAU DARI USIA ANAK BERDASARKAN SOSIO EMOSIONAL DAN MORAL "
Posting Komentar